Kebayang nggak sih kalau didunia ini tidak
ada yang namanya penanggalan alias kalender? Pastinya kita bakal ribet
kalau harus janjian bareng teman, saudara atau klien. Bayangin saja,
kita janjian 10 hari kemudian dari sekarang. Terus tiba-tiba kita lupa
ini sudah hari keberapa, so sepuluh hari kemudian itu kapan? Nah lho,
ribet kan? Makanya syukur alhamdulillah sekali kita mengenal hari dan
tanggal seperti sekarang ini.
Penanggalan atau kalender
yang bahasa arabnya disebut tarikh yang juga berarti sejarah, adalah
sebuah pendeskripsian bagi suatu zaman yang didalamnya telah terjadi
peristiwa penting yang sangat berpengaruh pada kehidupan individu atau
manusia pada umumnya. Makanya tiap agama, negara, suku atau etnis
mempunyai penanggalan sendiri sesuai dengan keyakinan mereka.
Orang-orang yahudi sangat mengagungkan zaman Musa
‘Alaihissalaam, maka mereka memulai sejarah penanggalannya dari zaman
kenabian beliau. Orang-orang Nasrani sangat mengagungkan kelahiran
Al-Masih Isa ‘Alaihissalaam, maka mereka memulai tarikh mereka dari
kelahiran beliau. Sedangkan kaum Muslimin tidaklah seperti mereka-mereka
itu. Kaum muslimin melihat bahwa Hijrahnya Nabi Muhammad SAW merupakan
momentum yang sangat bersejarah, maka menandai peristiwa-peristiwa
bersejarah kita selaku umat Islam dengan berpatokan kepada Hijrah beliau
yang penuh berkah.
Nah, penanggalan yang paling banyak
digunakan orang di seluruh dunia ini adalah penanggalan yang dimulai
dari kelahiran Isa Al-Masih yaitu penanggalan atau kalender Masehi.
Bahkan, harus diakui, kebanyakan umat Islam diIndonesia lebih familiar
dan lebih sering menggunakan kalender Masehi dalam kehidupan sehari-hari
dari pada kalender Hijriah yang jelas-jelas merupakan kalender Islam.
Akibatnya, banyak diantara umat Islam sendiri yang tidak hapal bahkan
tidak tahu nama-nama bulan dari kalender Hijriah.
Menurut ilmuwan, kalender Masehi didasarkan pada peredaran
matahari makanya disebut juga penanggalan Samsiah. Sedangkan kalender
Hijriah berdasarkan pada peredaran bulan makanya disebut penanggalan
Qomariah. So, jangan heran kalau sobat mendapatkan perbedaan tanggal
atau hari pada kalender Masehi dan kalender Hijriah. Contohnya, tahun
lalu 31 Agustus-1 September, eh tahun sekarang lebaran jatuh pada
tanggal 19-20 Agustus.
Hukum Merayakan Tahun Baru
Entah sejak kapan dan entah siapa yang mulai, menjadikan
awal tahun baru sebagai hari perayaan, hari besar atau hari raya sudah
merupakan suatu kelaziman dan budaya. Tapi, yang mempunyai adat
kebiasaan merayakan tahun baru itu adalah kau non Muslim. Orang-orang
persia merayakan hari raya Nairuz yaitu hari pertama musim semi,
sedangkan orang nasarani merayakan satu januari sebagai hari raya tahun
baru Masehi.
Dari masa Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat bahkan sampai pada periode salafus saleh, tidak terdapat yang
namanya perayaan awal tahun baru Hijriah. Maka Mukmin sejati adalah
orang yang meniti jalanya para salafus saleh, yang berteladan kepada apa
yang ditinggalkan oleh sayyidul mursalin SAW, dan berteladan kepada
orang diberi ni'mat oleh Allah, yaitu pada Nabi-Nabi, Shiddiqin, Syuhada
dan Shalihin.
So, tahu sendirikan gimana hukumnya kalau
kita merayakan tahun baru Masehi 1 Januari? Merayakan tahun baru
Hijriah saja masih diragukan, apalagi ini merayakan hari raya umat
nasrani yang tidak sealiran dan seakidah dengan kita.
Apalagi biasanya perayaan tahun baru itu diisi dengan berpesta makan dan
minum, meniup terompet dan bernyanyi-nyanyi ria. Pokoknya segala macam
pesta hura-hura dari mulai sore sampai tengah malam ketika terjadinya
pergantian waktu. Detik-detik pergantian tahun seolah menjadi suatu yang
sakral sehingga ketika waktu itu tiba semua yang merayakannya saling
berpelukan, walau bukan muhrimnya, sambil tertawa dan sekaligus
menangis.
Bahkan tak jarang pesta tahun baru itu berubah wujud menjadi
pesta narkoba, minum-minuman keras, judi bahkan seks. Banyak juga yang
merayakan dengan konvoi di jalan-jalan raya yang kemudian jadi ajang
ugal-ugalan dan kebut-kebutan. Makanya tak aneh tiap pergantian tahun
itu, angka kecelakaan dan kematian di jalan menjadi meningkat.
Namun tidak sedikit pula, yang mengisi tahun baru dengan
kegiatan muhasabah atau perenungan bersama tanpa ada acara hura-huranya.
Berkumpul bersama keluarga dan teman-teman sambil bakar sate atau
kambing guling. Ada juga yang memanfaatkan momentum tahun baru untuk
saling berbagi rejeki dengan anak-anak yatim piatu dan para dhuafa.
Apapun bentuknya perayaan itu dari mulai acara yang
hura-hura sampai yang bersifat perenungan. Dari acara yang positif
sampai ke acara yang negatif dan gila-gilaan. Satu hal yang harus kita
ingat sebagai Muslim bahwa merayakan tahun baru masehi itu sama dengan
kita mengakui keyakinan orang nasrani.
Imam Suyuti
berkata: “Tasyabuh (menyerupai orang kafir) adalah haram, sekalipun
tidak bermaksud seperti maksud mereka.” Berdasarkan riwayat Ibnu Umar
r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum,
maka ia termasuk golongan mereka.” (HR: Abu Daud dan yang lainnya).
Ibnu al Hajj dalam Al Madkhal menyebutkan, “Sebab larisnya
adat-adat semacam tadi adalah diamnya sebagian ulama.” Makanya, imam
Suyuti mengingatkan, “Hendaknya orang Islam tidak memandang pelaku dan
penggemar kesesatan, sekalipun ada ulama yang bersama mereka.” Imam
besar Fudhail bin Iyadh berkata, “Ikutilah jalan kebenaran, sekalipun
banyak orang yang binasa.”
Tak ada yang istimewa dengan
bergantinya tahun, sama saja seperti bergantinya bulan demi bulan. Jika
ada yang mengatakan bahwa tahun baru merupakan momentum untuk
memperbaiki diri, itu tidak tepat. Karena sebagai seorang Muslim, kita
dituntut untuk memperbaiki diri setiap waktu atau dari waktu kewaktu.
Bukankah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini?
So, tidak perlu menanti tahun baru untuk meningkatkan kualitas diri.
(Jayanto)
SUMBER: Majalah Muslimah