Jumat, 07 September 2012

Sejarah Tahun Baru

     Kebayang nggak sih kalau didunia ini tidak ada yang namanya penanggalan alias kalender? Pastinya kita bakal ribet kalau harus janjian bareng teman, saudara atau klien. Bayangin saja, kita janjian 10 hari kemudian dari sekarang. Terus tiba-tiba kita lupa ini sudah hari keberapa, so sepuluh hari kemudian itu kapan? Nah lho, ribet kan? Makanya syukur alhamdulillah sekali kita mengenal hari dan tanggal seperti sekarang ini.
      Penanggalan atau kalender yang bahasa arabnya disebut tarikh yang juga berarti sejarah, adalah sebuah pendeskripsian bagi suatu zaman yang didalamnya telah terjadi peristiwa penting yang sangat berpengaruh pada kehidupan individu atau manusia pada umumnya. Makanya tiap agama, negara, suku atau etnis mempunyai penanggalan sendiri sesuai dengan keyakinan mereka.
      Orang-orang yahudi sangat mengagungkan zaman Musa ‘Alaihissalaam, maka mereka memulai sejarah penanggalannya dari zaman kenabian beliau. Orang-orang Nasrani sangat mengagungkan kelahiran Al-Masih Isa ‘Alaihissalaam, maka mereka memulai tarikh mereka dari kelahiran beliau. Sedangkan kaum Muslimin tidaklah seperti mereka-mereka itu. Kaum muslimin melihat bahwa Hijrahnya Nabi Muhammad SAW merupakan momentum yang sangat bersejarah, maka menandai peristiwa-peristiwa bersejarah kita selaku umat Islam dengan berpatokan kepada Hijrah beliau yang penuh berkah.
      Nah, penanggalan yang paling banyak digunakan orang di seluruh dunia ini adalah penanggalan yang dimulai dari kelahiran Isa Al-Masih yaitu penanggalan atau kalender Masehi. Bahkan, harus diakui, kebanyakan umat Islam diIndonesia lebih familiar dan lebih sering menggunakan kalender Masehi dalam kehidupan sehari-hari dari pada kalender Hijriah yang jelas-jelas merupakan kalender Islam. Akibatnya, banyak diantara umat Islam sendiri yang tidak hapal bahkan tidak tahu nama-nama bulan dari kalender Hijriah.
     Menurut ilmuwan, kalender Masehi didasarkan pada peredaran matahari makanya disebut juga penanggalan Samsiah. Sedangkan kalender Hijriah berdasarkan pada peredaran bulan makanya disebut penanggalan Qomariah. So, jangan heran kalau sobat mendapatkan perbedaan tanggal atau hari pada kalender Masehi dan kalender Hijriah. Contohnya, tahun lalu 31 Agustus-1 September, eh tahun sekarang lebaran jatuh pada tanggal 19-20 Agustus.

           Hukum Merayakan Tahun Baru
      Entah sejak kapan dan entah siapa yang mulai, menjadikan awal tahun baru sebagai hari perayaan, hari besar atau hari raya sudah merupakan suatu kelaziman dan budaya. Tapi, yang mempunyai adat kebiasaan merayakan tahun baru itu adalah kau non Muslim. Orang-orang persia merayakan hari raya Nairuz yaitu hari pertama musim semi, sedangkan orang nasarani merayakan satu januari sebagai hari raya tahun baru Masehi.
      Dari masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat bahkan sampai pada periode salafus saleh, tidak terdapat yang namanya perayaan awal tahun baru Hijriah. Maka Mukmin sejati adalah orang yang meniti jalanya para salafus saleh, yang berteladan kepada apa yang ditinggalkan oleh sayyidul mursalin SAW, dan berteladan kepada orang diberi ni'mat oleh Allah, yaitu pada Nabi-Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin.
      So, tahu sendirikan gimana hukumnya kalau kita merayakan tahun baru Masehi 1 Januari? Merayakan tahun baru Hijriah saja masih diragukan, apalagi ini merayakan hari raya umat nasrani yang tidak sealiran dan seakidah dengan kita.
      Apalagi biasanya perayaan tahun baru itu diisi dengan berpesta makan dan minum, meniup terompet dan bernyanyi-nyanyi ria. Pokoknya segala macam pesta hura-hura dari mulai sore sampai tengah malam ketika terjadinya pergantian waktu. Detik-detik pergantian tahun seolah menjadi suatu yang sakral sehingga ketika waktu itu tiba semua yang merayakannya saling berpelukan, walau bukan muhrimnya, sambil tertawa dan sekaligus menangis.
      Bahkan tak jarang pesta tahun baru itu berubah wujud menjadi pesta narkoba, minum-minuman keras, judi bahkan seks. Banyak juga yang merayakan dengan konvoi di jalan-jalan raya yang kemudian jadi ajang ugal-ugalan dan kebut-kebutan. Makanya tak aneh tiap pergantian tahun itu, angka kecelakaan dan kematian di jalan menjadi meningkat.
      Namun tidak sedikit pula, yang mengisi tahun baru dengan kegiatan muhasabah atau perenungan bersama tanpa ada acara hura-huranya. Berkumpul bersama keluarga dan teman-teman sambil bakar sate atau kambing guling. Ada juga yang memanfaatkan momentum tahun baru untuk saling berbagi rejeki dengan anak-anak yatim piatu dan para dhuafa.
      Apapun bentuknya perayaan itu dari mulai acara yang hura-hura sampai yang bersifat perenungan. Dari acara yang positif sampai ke acara yang negatif dan gila-gilaan. Satu hal yang harus kita ingat sebagai Muslim bahwa merayakan tahun baru masehi itu sama dengan kita mengakui keyakinan orang nasrani.
      Imam Suyuti berkata: “Tasyabuh (menyerupai orang kafir) adalah haram, sekalipun tidak bermaksud seperti maksud mereka.” Berdasarkan riwayat Ibnu Umar r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR: Abu Daud dan yang lainnya).
      Ibnu al Hajj dalam Al Madkhal menyebutkan, “Sebab larisnya adat-adat semacam tadi adalah diamnya sebagian ulama.” Makanya, imam Suyuti mengingatkan, “Hendaknya orang Islam tidak memandang pelaku dan penggemar kesesatan, sekalipun ada ulama yang bersama mereka.” Imam besar Fudhail bin Iyadh berkata, “Ikutilah jalan kebenaran, sekalipun banyak orang yang binasa.”
      Tak ada yang istimewa dengan bergantinya tahun, sama saja seperti bergantinya bulan demi bulan. Jika ada yang mengatakan bahwa tahun baru merupakan momentum untuk memperbaiki diri, itu tidak tepat. Karena sebagai seorang Muslim, kita dituntut untuk memperbaiki diri setiap waktu atau dari waktu kewaktu. Bukankah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini? So, tidak perlu menanti tahun baru untuk meningkatkan kualitas diri. (Jayanto)


SUMBER: Majalah Muslimah